Politik Identitas

Semasa SMP, nyokap gue pernah bilang kalo politik itu abu-abu.
Kita gak pernah tau, mana yang putih mana yang hitam, mana yang benar mana yang salah. Cuma ada abu-abu, warna yang membuat kita semakin sulit untuk menentukan keberpihakan.

Sejak saat itu,gue mulai sedikit lebih dalam mempelajari politik. Gak sampai ke dasarnya, tapi cukup dalam sampe gue bisa menentukan sikap untuk menyibak warna abu-abu tadi. Karena gue sadar, melek politik itu penting. Semua kebijakan pemerintah soal pendidikan, pekerjaan, sampe jaminan sosial yang bakal gue rasain di masa depan bergantung sama pilihan politik gue sekarang. Meskipun busuk, semua elemen di politik ternyata punya peranan penting bagi kehidupan kita semua. Makanya, sebisa mungkin gue menghindari yang namanya golput. Kebetulan gue absen di Pemilu DKI Jakarta tahun ini, karena emang permasalahan domisili yang enggak memungkinkan gue untuk balik ke Jakarta.

Dengan golput, berarti kita udah memutuskan untuk bersikap masa bodoh, yang artinya melonggarkan pengawasan terhadap siapapun yang terpilih untuk mewakili kita sebagai rakyat. Akibatnya, ya bisa kita bayangin sendiri. Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika itu salah satunya karena angka golput anak muda AS meningkat. Mereka berpikir "Yah elah gak mungkin orang kayak Trump kepilih" ,tapi pas sekarang udah kepilih? baru deh pada sibuk demo.

Dan di Indonesia,terutama di Jakarta, lagi ribut ribut soal Politik Identitas. Apasih politik identitas?Buka buku sedikit "Politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan" (Bagir,2011:18).

Isu ini sebenernya udah cukup lama gue rasain. Sekitar tiga tahun yang lalu, di sebuah liqo (semacem pengajian) seorang kakak kelas yang gue anggap sebagai mentor agama gue, pernah ngebahas soal masalah ini, dan kurang lebih perkataan dia kayak gini "Meskipun si anu pemimpin kita, tapi darah dia halal ditumpahin, karena dia beda agama sama kita"

Kaget? Banget. Gue punya banyak temen yang keyakinannya beda sama gue. Kristen, Budha, Hindu, sampe yang agnostik dan atheis pun ada. Apa cuma karena masalah agama gue jadi gak dosa ngebunuh mereka?

Perkataan mentor gue tadi menciptakan sebuah rasa skeptis di pikiran gue, "Apa iya seekstrem itu?". Di liqo tersebut mentor gue juga menyinggung salah satu ayat yang mengharamkan memilih pemimpin yang berbeda agama. Maka gue coba gali lagi, gue coba pelajari lagi, gue coba bandingin omongan tadi dengan berbagai literatur, dan akhirnya gue nemu kesimpulan soal politik identitas.

Politik identitas itu bukan soal islam lawan agama lain doang. Politik identitas itu sebuah sikap berpolitik yang caranya mempertegas perbedaan seolah-olah dua perbedaan itu tidak bisa hidup berdampingan. Sikap"kita lawan mereka" yang diagung-agungkan.

Kebetulan di Indonesia, yang paling manjur adalah unsur perbedaan agama. Di Amerika, yang diangkat adalah isu imigran dan warga asli.Di Eropa, isu yang santer adalah pandangan ekonomi yang dianut.

"Agama itu nomer satu lah.Sikap kita di kehidupan sehari hari ya harus ngikutin apa kata agama"

Sebelum kamu dengan sangat yakin berucap "agama nomer satu", pastikan tidak ada yang menjadikan agamamu sebagai komoditas dalam berpolitik. Jangan mau jadi umat yang mudah diprovokasi. Pembantaian PKI tanpa proses peradilan di tahun 1965 itu akibat mayoritas yang diprovokasi.Penjarahan dan pemerkosaan yang terjadi pada ras cina di sekitar tahun 1998 pun akibat mayoritas yang terprovokasi. Hasilnya apa? Jutaan orang mati di jalan, ratusan ribu rumah dijarah, ratusan perempuan diperkosa.Mau berapa kali terus terulang?

Jadi, apakah mayoritas itu mudah ditunggangi? Jangan kira ini semua akan selesai dengan Pilkada DKI, sekali lagi ini bukan perkara agama, tapi soal identitas. Ayo, bersiap untuk lebih cerdas di 2019. Kenapa? Karena dengan politik identitas ini, bahkan kalau pun semua calonnya muslim, akan muncul pengkotak-kotakan identitas lain yang tujuannya memprovokasi.Akan muncul lagi tuduhan"si A ini antek asing", atau"si B ini keturunan PKI".

Selama politik identitas masih terbukti bisa memenangkan kubu mereka, orang-orang tidak akan berhenti terus mencari-cari perbedaan yang bisa mereka manfaatkan untuk provokasi.Itu sebabnya fitnah bertebaran dan berita hoax tumbuh subur. Ya karena mereka yang menunggangi ketidak-tahuan kita ini sedang menciptakan perbedaan sebanyak-banyaknya.

Kamu pikir kenapa umat islam tidak sedemikian marah padahal jelas-jelas ada orang jadi tersangka kasus korupsi Al Quran? Al Quran yang merupakan kitab pedoman diselewengkan, dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, tapi rasanya tidak banyak yang peduli. Kenapa? Ya karena tidak ada yang memprovokasi.

Ada kasus korupsi dana haji,uang yang susah payah dikumpulkan untuk menunaikan rukun islam dijadikan mainan, tidak ada yang marah. Kenapa? Karena tidak ada provokasi.

Kita harus mau untuk belajar lebih cerdas, tidak melulu yakin merasa pasti benar itu perlu.Hati-hati.

Salam koyo.



Comments

Popular Posts